SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA


Keberlakuan Pancasila Secara Filosofis

Keberlakuan filosofis (filosofische Geltung) merupakan presyarat penting bagi UUD 1945 karena produk hukum inilah yang paling tinggi kedudukannya dalam sistem (tatanan) norma hukum positif kita. Demikian pula halnya, UUD 1945 adalah penjabaran yang paling dekat dengan cita negara (Staatsidee) dan cita hukum (Rechtsidee) masyarakat, bangsa dan negara kita.

Rasa keadilan bagi bangsa Indonesia sebagian besar hadir atas dasar faktor sejarah perjuangan bangsa. Faktor inilah yang melahirkan filsafat Pancasila sebagaimana tercetus dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan terurai dalam Pembukaan UUD 1945. pembukaan UUD 1945 itu, dilihat dari sudut historis-politis dapat disebut sebagai “gentlemen agreement”, dan dari sudut filosofis-yuridis konstitusional sebagai “Staatsfundamentalnorm”. Dengan demikian, Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar pembukaan, pengantar, pendahuluan atau mukadimah biasa dari UUD 1945, tetapi merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) yang sekaligus mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif.

Jika dikatakan bahwa kelahiran UUD 1945, terutama Pembukaannya, dapat dikatakan merupakan “gentlemen agreement” dari pada pendiri Bapak Bangsa Indonesia. Hal itu dapat diamati dalam proses kelahiran UUD 1945, baik dalam BPUPKI maupun PPKI.

Selama masa tugasnya BPUPKI, yang didirikan 29 April 1945, pernah mengadakan dua kali sidang umum (resmi). Sidang pertama dilakukan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945. di antara dua masa sidang itu dilangsungkan pula satu sidang tidak resmi, namun tidak dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI. Walaupun sidang ini tidak resmi dan dilangsungkan pada masa reses, kesepakatan yang dicapai oleh 38 anggota yang hadir tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi sejarah perumusan UUD 1945.

Sidang umum pertama membahas tentang masalah dasar negara, wilayah negara, kewarganegaraan, serta rancangan undang-undang dasar. Masalah-masalah ini belum tuntas dibicarakan, sehingga harus diteruskan pada sidang kedua. Pada sidang kedua dibahas tentang masalah-masalah di atas, ditambah dengan persoalan ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran. Sementara pada sidang tidak resmi yang berlangsung selama masa reses itu, dibahas masalah rancangan pembukaan undang-undang dasar.

Sidang umum pertama BPUPKI diisi antara lain dengan pidato Mr. Muhammad Yamin. Pada kesempatan membahas tentang dasar negara, beliau menyebutkan lima butir dasar negara, yakni : (1) peri kebangsaan, (2) peri kemanusiaan, (3) peri Ketuhanan, (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan sosial. Pada akhir pidatonya, Yamin lalu menyerahkan sebagai lampiran suatu rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Rancangan itu dimulai dengan “Pembukaan” yang bunyinya (setelah mengalami sedikit perubahan) sama dengan Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Pada hari-hari berikutnya, tepatnya tanggal 31 Mei 1945, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan pidato Prof. Mr. Dr. Soepomo. Pada bagian pertama pidatonya, Soepomo memberi tanggapan terhadap berbagai pendapat dari anggota BPUPKI mengenai syarat-syarat negara Indonesia merdeka, yakni tentang daerah (wilayah), warga negara, dan pemerintah yang berdaulat menurut hukum internasional. Selanjutnya, ia mengupas masalah cita negara (staatsidee) dengan berbagai teori yang mendasarinya.

Soepomo menyakini paham negara persatuan atau kekeluargaan sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia. Negara nasional Indonesia yang akan didirikan, menurut Soepomo, adalah negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan yang tersebar, tetapi yang akan mengatasi semua golongan. Kedua, ia mengusulkan agar warga negara tunduk pada Tuhan. Ketiga, mengenai kerakyatan, ia mengusulkan agar dalam susunan pemerintahan negara dibentuk sistem badan permusyawaratan. Keempat, dalam bidang ekonomi, Soepomo ingin dianut sifat kekeluargaan. Negara yang ingin didirikan itu adalah negara yang makmur, bersatu, berdaulat dan adil. Kelima, ia membicarakan hubungan Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Menurutnya, Indonesia sebaiknya bersifat negara Asia Timur Raya, yakni anggota kekeluargaan Asia Timur Raya itu.

Pada tanggal 1 Juni 1945, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan pidato Ir. Soekarno. Satu hal yang penting dalam pidatonya ini adalah rumusan dasar negara yang disebutnya “Pancasila”, yaitu : (1) kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Sebutan “Pancasila” sebagai dasar negara diucapkan untuk pertama kalinya secara resmi pada tanggal 1 Juni 1945 ini, yang dikatakan oleh Ir. Soekarno berasal dari petunjuk seorang ahli bahasa kenalannya.

Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno itu diartikannya sebagai dasar filsafat (philosophische grondslag), fundamen, pikiran/hasrat yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan Weltanschauung bangsa dan negara Indonesia. Pada bagian penutup pidatonya, Soekarno mengatakan Pancasila itu dapat diperas menjadi Trisila (sosio-nasionalisme, sosia-demokrasi dan Ketuhanan), dan dapat disarikan lagi menjadi Ekasila (gotong royong).

Pada akhir Sidang Pertama BPUPKI dibentuklah suatu panitia kecil yang terdiri dari delapan orang (Panitia Delapan). Panitia ini diketuai oleh Ir Soekarno untuk menindak lanjuti usul-usul yang telah diajukan peserta sidang. Di antara usul-usul yang berkembang pada Sidang Pertama, terdapat dua kelompok pemikiran yang sama-sama sangat argumentatif; yang satu dapat disebut sebagai golongan Islam, dan yang lain sebagai golongan paham kebangsaan (nasionalis). Dalam rangka menuju ke arah permufakatan inilah, maka Panitia Delapan lalu berkumpul bersama dengan 38 orang anggota BPUPKI yang kebetulan (masih) berada di Jakarta. Rapat tanggal 22 Juni 1945 itu memutuskan untuk membentuk panitia yang terdiri dari sembilan orang (Panitia Sembilan), terdiri dari tokoh-tokoh kedua golongan pemikiran itu. Mereka adalah : (1) Ir. Soekarno, (2) Drs. Muhammad Hatta, (3) Mr. A.A. Maramis, (4) Abikusno Tjokrosujoso, (5) Abdulkahar Muzakir, (6) H. Agoes Salim, (7) Mr. Achmad Subardjo, ( Wahid Hasyim dan (9) Mr. Muhammad Yamin.

Panitia sembilan itu berhasil mengakomodasikan pemikiran-pemikiran di atas dan merumuskannya dalam suatu naskah. Ada yang mengatakan bahwa naskah ini nantinya akan dijadikan sebagai pernyataan kemerdekaan, namun perkembangan kemudian menjadi konsep Pembukaan (Preambul) UUD 1945. rumusan konsensus dari pertemuan tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dalam naskah ini terdapat rancangan dasar negara, yang berbunyi :

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

2. kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. persatuan Indonesia;

4. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perlu dicatat bahwa kata “Pancasila” sendiri, walaupun telah diungkapkan oleh Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945, sama sekali tidak disebut-sebut dalam rancangan pembukaan hukum dasar itu (Piagam Jakarta) itu. Hasil rumusan Panitia Sembilan ini dilaporkan kepada Panitia Delapan dan diterima sepenuhnya. Selanjutnya oleh Panitia Delapan, rumusan itu dilaporkan dalam Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945. laporan ini diterima dengan sangat antusias. Sidang BPUPKI ini berlangsung sampai tanggal 17 Juli 1945.

Sidang Kedua BPUPKI diawali dengan perkenalan enam anggota baru BPUPKI. Dengan demikian, tercatat jumlah anggota BPUPKI menjadi 66 orang, ditambah dengan satu ketua dan dua wakil ketua.

Keesokan harinya, tanggal 11 Juli 1945, BPUPKI membentuk tiga panitia, yaitu : (1) Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai Ir. Soekarno), (2) Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai Abikusno Tjokrosujoso), dan (3) Panitia Soal Keuangan dan Perekonomian (diketuai Drs. Moh. Hatta).

Panitia Perancang Undang-Undang Dasar membentuk lagi satu panitia kecil di bawah pimpinan Prof. Mr. Dr. Soepomo. Tugas panitia ini dibantu oleh tim lain lagi, yang disebut Panitia Penghalus Bahasa, terdiri dari Husein Djadiningrat, H. Agoes Salim, dan Soepomo. Hasil pekerjaan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar ini dapat diselesaikan dalam waktu tiga hari, dan hasilnya dilaporkan oleh Ir. Soekarno kepada BPUPKI tanggal 14 Juli 1945. ada tiga naskah yang disampaikan oleh Panitia ini :

1. Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka, yang isisnya diambil dari Alinea 1,2 dan 3 rancangan pembukaan hukum dasar (Piagam Jakarta), yang ditambah dengan hal-hal lain sehingga merupakan satu teks yang agak panjang;

2. Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang isisnya diambil dari Alinea 4 rancangan pembukaan hukum dasar (Piagam Jakarta);

3. Rancangan (Batang Tubuh) Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 15 bab, 42 pasal termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.

Dua naskah yang pertama di atas, setelah melalui perdebatan, akhirnya diterima oleh Sidang BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 itu. Pembahasan tentang Rancangan (Batang Tubuh) Undang-Undang Dasar diteruskan esok harinya.

Salah satu perdebatan yang akan diuraikan di bawah nanti terjadi pada tanggal 14 Juli 1945 dalam sidang Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar, yakni mengenai kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar pada tanggal 15 Juli 1945 memberikan penjelasan umum tentang dasar, falsafah dan sistem yang dipakai dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar itu. Setelah mendengarkan penjelasan dari Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan uraian lisan Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar. Ia mengemukakan secara rinci pasal demi pasal dari batang tubuh rancangan undang-undang dasar itu. Dapat diduga bahwa setelah itu muncul banyak sekali tanggapan dan pemikiran. Terjadilah suatu perdebatan yang sangat konstruktif, misalnya saja mengenai perlu tidaknya dimasukkan rumusan tentang hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat dalam undang-undang dasar. Tokoh-tokoh seperti Soepomo menganggap hak demikian tidak perlu dicantumkan secara eksplisit karena khawatir akan mengarah kepada paham individualisme dan liberalisme. Di sisi lain, tokoh lain seperti Muhammad Hatta, berpendapat pencantuman hak demikian tetap perlu sekalipun beliau sendiri juga tidak setuju dengan paham individualisme dan liberalisme. Kompromi dari perdebatan tersebut akhirnya menghasilkan rumusan Pasal 28 UUD 1945 yang kita kenal sekarang ini.

Perubahan-perubahan yang telah disepakati bersama segera dimasukkan dalam rancangan itu, dan pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI berhasil menyelesaikan tugas pokoknya. Badan ini tidak sekedar menyelidiki persiapan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga berhasil menentukan dasar dan bentuk negara, sekaligus merancang undang-undang dasarnya. Keesokan harinya, disetujui pula dua rancangan dari Panitia Pembelaan Tanah Air dan Panitia soal keuangan dan Perekonomian. Perlu dicatat, bahwa BPUPKI juga telah menghasilkan Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka dan Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, walaupun kedua naskah di atas pada akhirnya tidak digunakan karena diganti dengan naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan naskah Piagam Jakarta secara utuh (dengan perubahan-perubahannya).

Sesuai melaksanakan tugasnya, BPUPKI melaporkan kepada Pemerintah Balatentara Jepang disertai usul agar tugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu ditindaklanjuti oleh badan baru yang akan dibentuk kemudian. Usul ini diterima, dan pada tanggal 7 Agustus 1945 diumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Linkai.

Pembentukan PPKI diadakan dalam suasana Perang Asia Timur Raya yang makin menghebat. Dua hari berturut-turut sebelumnya, yakni tanggal 6 dan 7 Agustus 1945, dua kota penting di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki) dijatuhi bom oleh pihak sekutu. Dengan demikian detik-detik kekalahan Jepang dalam perang itu semakin dekat.

Satu hari setelah pengumuman pembentukan PPKI, yakni tanggal 8 Agustus 1945 tiga tokoh pemimpin Indonesia (Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat) diundang ke Dalat, sebuah kota dekat Saigon (sekarang kota Ho Chi Minh) di Vietnam Selatan oleh Marsekal Hisaichi, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Jepang untuk Asia Selatan/Tenggara. Baru tanggal 9 Agustus 1945 ketiga pemimpin bangsa Indonesia itu dapat berangkat dengan pesawat terbang dari Jakarta dan diterima oleh Terauchi tanggal 12 Agustus 1945. pada kesempatan itu Terauchi pada intinya mengatakan bahwa Pemerintah Jepang (di Tokyo) telah memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dan untuk melaksanakan kemerdekaan itu diserahkan kepada PPKI.

Pada kesempatan itu pula Terauchi mengangkat Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai anggota. Di samping Radjiman, juga diangkat 18 anggota lainnya yang mencerminkan wakil-wakil masyarakat Indonesia dari Jawa, Sumatra, Sulawesi Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan Keturunan Cina. PPKI ini dapat mulai bekerja tanggal 19 Agustus 1945. bagaimana mekanisme dan kapan pekerjaannya harus diselesaikan, sepenuhnya diserahkan kepada PPKI. Direncanakan sidang PPKI akan dimuali tanggal 20 Agustus 1945, dan kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan tanggal 24 Agustus 1945. sekembalinya di Indonesia, Ketua PPKI Soekarno menambahkan enam anggota baru. Langkah Soekarno ini dapat dipandang penting agar PPKI terhindar dari kesan sepenuhnya sebagai “badan bentukan Jepang”. Dilihat dari komposisi keanggotaannya, dapat dikatakan PPKI telah mencerminkan sebagian besar unsur-unsur masyarakat Indonesia.

Ternyata sejarah mencatat terjadi perkembangan keadaan yang lebih cepat daripada rancana yang telah ditetapkan semula untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Jepang telah takluk kepada Sekutu, namun Tentara Sekutu sendiri belum sempat mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang. Penyerahan Jepang sendiri praktis telah mengaburkan janji kemerdekaan yang akan diberikannya kepada bangsa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan perjanjian negara itu kepada Sekutu untuk mempertahankan “status quo” daerah-daerah jajahannya (termasuk Indonesia, tentunya).

Di tengah-tengah kevakuman kekuasaan itu, muncul desakan-desakan yang sangat kuat, khususnya dari pemuda, agar bangsa Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Soekarno dan Moh, Hatta diajak oleh sekelompok pemuda ke Rengas- dengklok dan di sana kedua tokoh itu didaulat agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia itu. Setelah mengalami saat-saat yang menegangkan, kedua pemimpin bangsa Indonesia itu kemudian menyanggupi, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Persoalan timbul menyangkut seperti apa naskah proklamasi yang akan dibacakan kelak. Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka yang telah disusun oleh BPUPKI akhirnya diputuskan tidak akan digunakan, tetapi diganti dengan naskah proklamasi yang baru. Keputusan ini rupanya untuk mengakomodasi keinginan kaum pemuda yang ingin melepaskan kesan kemerdekaan Indonesia sebagai “hadiah” dari Jepang (karena BPUPKI dibentuk oleh Jepang). Susunan kalimat dalam teks proklamasi itu sangat singkat, tetapi penjabarannya dapat ditemukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (yang semula tiga alinea pertamanya telah disiapkan sebagai naskah proklamasi).

Teks proklamasi itu dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di halaman rumahnya, jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, dengan diawali dan diakhiri suatu pidato singkat. Proklamasi tersebut merupakan titik kulimasi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sekaligus detik penjebolan tertib hukum kolonial dan awal pembangunan tertib hukum nasional.

Keberadaan PPKI sendiri, jika amati, sangat menarik dan vital. Walaupun badan ini dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, kedudukan dan peranannya justru sangat penting setelah Indonesia merdeka. Hal itu tampak dari rangkaian sidang-sidang PPKI yang diadakan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dari penyelenggaraan sidang ini saja telah dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Indonesia sama sekali tidak lagi mengikuti rencana yang dibuat oleh Pemerintah Balatentara Jepang. Pada sidang hari pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil dikeluarkan keputusan; (1) Menetapkan/mengesahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan kemudian Batang Tubuh UUD 1945 (tidak termasuk penjelasan), (2) Memilih Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, (3) Sebelum dibentuk MPR, tugas-tugas Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional.

Tanggal 19 Agustus 1945 PPKI berhasil menetapkan 12 departemen dalam lingkungan pemerintah, membagi wilayah RI dalam delapan propinsi sekaligus menetapkan gubernur yang mengepalainya. Lalu, tanggal 22 Agustus 1945 PPKI membentuk Komite Nasional, yang sebenarnya berintikan para anggota PPKI sendiri. Komite Nasional ini kemudian dinamakan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), berjumlah 137 orang anggota. Menurut rencana, akan ada Komite Nasional di tingkat daerah, tetapi karena gentingnya keadaan, hal tersebut belum berhasil dilakukan. Selain Komite Nasional, juga dibentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal di negara Republik Indonesia yang baru lahir itu. Dalam perkembangan gagasan partai tunggal ini kemudian ditangguhkan melalui Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945. gambaran di atas menunjukkan demikian strategis kedudukan dan peranan PPKI itu.

Marilah kita kembali ke tanggal 18 Agustus 1945, pada saat PPKI mengadakan sidang membahas undang-undang dasar. Dalam sidang itu disekarati beberapa perubahan yang sangat penting atas Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Rancangan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar hasil susunan BPUPKI, sehingga akhirnya menjadi seperti Undang-Undang Dasar 1945 sekarang ini.

Perubahan pertama terdapat dalam Pembukaan UUD. Istilah “Mukadimah” atau Pembukaan Undang-Undang Dasar” diganti dengan kata “Pembukaan” saja. Kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.sangat menarik di sini untuk diungkapkan, bahwa menurut keterangan Moh. Hatta perubahan ini dilatarbelakangi oleh keberatan dari pemuka masyarakat di Indonesia Bagian Timur. Utusan tersebut menghadap Moh. Hatta dan memintaagar kalimat Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu dipertimbangkan.

Keberatan seperti di atas sebenarnya sudah pernah diajukan pada saat BPUPKI bersidang tanggal 14 Juli 1945. keberatan demikian sesungguhnya juga diserukan oleh tokoh-tokoh beragama Islam seperti K.H. Sanusi dan Ki Bagus Hadikusumo. Hanya saja, ketika itu diputuskan untuk tidak mengadakan perubahan redaksional atau kalimat itu.

Rupanya tuntutan untuk menghapus tujuh kalimat tersebut kembali dikemukakan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu. Akhirnya sidang memutuskan untuk menerima usul tersebut. Dalam Batang Tubuh UUD pun persyaratan Presiden harus beragama Islam juga tidak lagi dicantumkan. Pasal 29 UUD juga mengalami perubahan, sehingga menjadi Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada bagian akhir pembahasan Pembukaan UUD diusulkan pula agar kata “Allah” pada alinea III diganti dengan kata “Tuhan”. Usul ini disetujui, tetapi rupanya perubahan itu tidak dicantumkan tatkala naskah UUD 1945 diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Nomor 7 Tahun II tanggal 15 Februari 1946.

Pasal-pasal lain mulai dari Pasal 4 mengalami perubahan di sana sini. Pembahasan Pasal 27, 28, 29 dan seterusnya justru berjalan lancar karena pemikiran-pemikiran mengenai materi tersebut telah diungkapkan pada persidangan sebelumnya, termasuk sidang-sidang BPUPKI. Menjelang akhir sidang, diusulkan pula agar ada ketentuan tentang perubahan undang-undang dasar, sehingga akhirnya muncul Pasal 37 UUD 1945 yang kita kenal saat ini. Pasal-pasal dalam Aturan Tambahan dan dua ayat Aturan Tambahan juga telah direvisi seperti rumusan sekarang.

Setelah semua setuju dengan perubahan di atas, maka pada pukul 15.45 WIB tanggal 18 Agustus 1945, disahkan UUD 1945, yang terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuhnya. Penjelasan UUD 1945 sama sekali belum dibahas ketika itu. Penjelasan ini sendiri baru diumumkan bersamaan dengan pengumuman UUD 1945 dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946. beberapa penulis seperti Logemann dan Nugroho Notosusanto; demikian pula sejumlah anggota BPUPKI dan PPKI, antara lain Baswedan dan Kasman Singodimedjo berpendapat Penjelasan UUD 1945 itu disusun oleh Soepomo.

Keberlakuan Pancasila Secara Yuridis

Membaca uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perumusan Pembukaan UUD 1945 melewati proses yang sangat krusial dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Kompromi-kompromi yang dihasilkan dalam perumusan Pembukaan UUD 1945 itu sangat fundamental dengan pijakan-pijakan filosofis yang mendalam. Di sisi lain, perbedaan-perbedaan pendapat dalam pembahasan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memakan waktu yang berkepanjangan dan kompromi relatif mudah dicapai.

Berdasarkan pemikiran ini, tidak keliru apabila ada yang menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar negara kita itu, keberadaannya sebaiknya tidak perlu dipersoalkan karena Pembukaan sudah mempunyai kedudukan yang kuat dan final setelah melalui perenungan filosofis yang mendalam dan melewati proses perumusan yang sangat demokratis. Mengubah Pembukaan UUD1945 hanya akan menjebak bangsa Indonesia ke dalam pertikaian politik yang mungkin penyelesaiannya jauh lebih rumit dibandingkan dengan situasi pada saat bangsa dan negara ini dibangun dulu.

Dalam uraian di bawah akan dibentangkan juga betapa penting kedudukan fungsi UUD 1945 itu dalam sistem hukum Indonesia. Sekalipun demikian, di antara semua bagian UUD 1945 itu, Pembukaan adalah bagian mendasar karena menjadi sumber norma hukum dalam sistem hukum Indonesia. Posisi yang demikian strategis diperkuat antara lain oleh Ketetapan MPRS Nomor. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPR Nomor. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR Nomor. IX/MPR/1978. ketetapan MPRS tersebut saat ini telah diganti dengan Ketetapan MPR Nomor. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Pokok-pokok pikiran itu lalu dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. inilah yang dimaksud oleh kalimat kunci dalam Penjelasan UUD 1945; “Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dalam pasal-pasalnya”.

Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea dan empat pokok pikiran. Walaupun jumlah sama-sama empat, pengertian alinea di sini tidak identik dengan pokok pikiran. Jadi, tidak berarti Alinea I mengandung Pokok Pikiran I, Alinea II mengandung Pokok Pikiran II, dan seterusnya. Pokok-pokok pikiran tersebut terkandung dalam keseluruhan alinea Pembukaan UUD 1945.

Alinea I memuat dasar/motivasi pernyataan kemerdekaan Indonesia. Di dalamnya (secara obyektif) dinyatakan bahwa segala bentuk penjajahan di atas dunia ini tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikedilan. Untuk itu (secara subyektif) bangsa Indonesia memiliki aspirasi untuk membebaskan diri dari penjajahan itu guna membangun masa depan bersama yang lebih baik.

Alinea II memuat cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia itu berarti perjuangan pergerakan kemerdekaan telah sampai kemerdekaan Indonesia itu berarti perjuangan pergerakan kemerdekaan telah sampai pada saat yang berbahagia. Pernyataan kemerdekaan itu sendiri barulah awal dari proses pembangunan bangsa ini menuju kepada negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Alinea III memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di situ ditegaskan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu selain upaya manusia, juga tidak terlepas dari berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa. Dengan demikian tampak jelas ada keseimbangan antara motivasi material dan spiritual dari pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia itu. Keseimbangan ini pula yang selalu eksis dalam pernjuangan mengisi kemerdekaan berupa pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila.

Alinea IV memuat tujuan nasional, penyusunan negara hukum, benttuk negara Republik Indonesia, negara berkedaulatan rakyat, dan lima dasar negara (yang kemudian dikenal dengan Pancasila). Fungsi dan tujuan negara Indonesia secara gamblang ditegaskan dalam alinea ini, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan dunia yang berdasarkan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk menjalankan fungsi dan mencapai tujuan yang mulia tersebut, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar (UUD 1945). Di situ juga ditegaskan bahwa bentuk negara yang dipilih adalah republik, yang berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila.

Semua alinea Pembukaan UUD 1945 di atas, apabila ditelaah secara mendalam, ternyata diilhami oleh empat pokok pikiran.

Pokok Pikiran I menyatakan, bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini sekaligus berarti, dalam Pembukaan UUD 1945 diterima aliran pengertian (paham) negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya, mengatasi asegala paham golongan dan perseorangan. Aliran inilah yang kemudian dikenal sebagai paham negara persatuan (integralistik atau kekeluargaan). Tampak di sini, bahwa pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-3 dari Pancasila.

Pokok Pikiran II menyatakan, bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-5 dari Pancasila.

Pokok Pikiran III menyatakan, bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan kedaulatan dan berdasar atas permusyawaratan perwakilam. Di sini secara jelas tampak bahwa pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-4 dari Pancasila.

Pokok Pikiran IV menyatakan, bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintahan dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-1 dan ke-2 dari Pancasila.

Pembukaan UUD 1945 juga dapat dinyatakan sebagai pernyataan kemerdekaan yang terinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dari segala sumber hukum yang meliputi pandangan hidup, kesadaran, cita hukum, cita-cita moral yang meliputi

Kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia telah dimurnikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila.

PANCASILA ADALAH FALSAFAH BANGSA INDONESIA.

Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia. Sebagai filsafat, sila-sila Pancasila itu tersusun secara sistematis (teratur/berurutan). Keempat pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu (yang tidak lain adalah sila-sila Pancasila itu sendiri) merupakan perwujudan operasional dari filsafat Pancasila.

Dalam penjelasan UUD 1945 dinyatakan secara tegas, bahwa Undang-Undang Dasar menciptakan pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dalam pasal-pasalnya. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa pokok-pokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri, dijabarkan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945.

Logika berpikir tersebut sejalan dengan Teori Jenjang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Menurut teori ini, norma yang derajat kedudukannya lebih tinggi selalu menjadi sumber bagi norma yang lebih rendah. Sebaliknya, norma yang lebih rendah berperan untuk menjabarkan norma-norma yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain, dalam sudut pandang teori Hans Nwiasky, nilai-nilai dasar Pancasila dikonkretkan dalam norma hukum yang lebih bawah, yang lazim disebut aturan dasar/pokok negara (Staatsgrundesetz). Apa bukti dari penjabaran ini?

Jika kita melihat pada Sila ke-1 Pancasila (Pokok Pikiran IV dari Pembukaan UUD 1945), tampak jelas keterkaitannya dengan Pasal 29 Batang Tubuh UUD 1945. jadi, Pasal 29 tersebut merupakan penjabaran dari Sila ke-1 Pancasila. Apabila kita ingin mengetahui bagaimana penafsiran Sila Pertama Pancasila, maka tiada jalan lain, kecuali harus melalui ketentuan Pasal 29 itu.

Demikian pula halnya dengan Sila ke-2 Pancasila (Pokok Pikiran IV Pembukaan UUD 1945), yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 26 s.d. 34 Batang Tubuh UUD 1945. sila ke-3 Pancasila (Pokok PikiranI Pembukaan UUD 1945) dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1), 35, dan 36. sila ke-4 Pancasila (Pokok Pikiran III) idjabarkan dalam Pasal 1 ayat (2), 3, 28 dan 37. sila ke-5 Pancasila (Pokok Pikiran II Pembukaan UUD 1945) dijabarkan dalam Pasal 23, 27 s.d. 34.

Undang-undan Dasar 1945 itu memang singkat, namun juga soepel (elastis, kenyal) karena hanya memuat aturan-aturan pokok. Aturan-aturan ini dimuat dalam Batang Tubuh. Untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang (dan peraturan lainnya). Seperti dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945, kita harus memiliki semangat untuk menjaga supaya sistem undang-undang dasar kita itu jangan sampai ketinggalan jaman atau lekas usang (verouderd). Penjelasan UUD 1945 menyetakan, “Yang sangat penting penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan (faham negara persatuan, penulis), apabila semangat para penyelenggara, para pimimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara”.

Redaksi kalimat di atas menunjukkan bahwa Pembentukan UUD 1945 sendiri tidak menutup diri terhadap adanya perubahan-perubahan dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu. Kendati demikian, diamanatkan pula bahwa motivasi atas perubahan itu adalah harus didorong oleh semangat perbaikan dalanm kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

SEJARAH PANCASILA

Sejarahnya berawal dari kalahnya orang-orang jepang pada tahun 1944, nah karena terus-menerus terdesak pada tanggal 29 April 1945 jepang memberikan janji kemerdekaan buat negara kita tercinta ini..pada saat itu pula BPUPKI dibentuk…BPUPKI mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945… nah dalam sidang inilah dasar negara kita mulai dibicarakan 2 orang diantara para pembicaranya adalah M. Yamin dan Bung Karno yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.

Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan

Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.

Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.

Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.

Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Adapun bunyi pembukaan UUD 1945 Seperti yang sudah kita ketahui waktu di sekolah dulu adalah sebagai berikut

UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

8 comments on “SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

  1. aq bingung baca.a???

    peranan BPUPKI dan PPKI terhadap lahir pancasila sbg ideologi negara dan keputusan yang dihasilkan oleh lembaga PPKI???

    thanks

Tinggalkan Balasan ke evendhy Batalkan balasan