FENOMENOLOGI


oleh : Sudaryanto

PENGANTAR
Mengapa Fenomenologi?
o Luberan informasi yang tak terbendung sejak Reformasi 1998, ternyata tidak dibarengi de-ngan pengayaan pikiran bangsa Indonesia; sebaliknya, justru terjadi pendangkalan pikiran yang makin mengarah pada “positivisme sempit.” Spirit Fenomenologi untuk memperluas dan memperdalam pengertian kita atas realitas (dengan semboyannya Back to the things themseleves) dapat membantu memerangi pendangkalan pikiran tersebut.

MANUSIA DAN REALITAS
o Hubungan antara manusia dan realitas di sekitarnya menjadi salah satu masalah sentral dalam perkembangan pemikiran manu- sia. Dalam hubungannya dengan alam sekitar itu, kesadaran manusia membangun banyak jembatan: mite, agama, seni, filsafat, pengetahuan, dan sebagainya, sebagai ekspresi dari perjuangannya untuk memahami dan mengendalikan lebih baik lingkungan di sekitarnya.

MANUSIA . . . (lanjutan 1)
o Dalam menghadapi realitasnya, manusia tidak hanya diam, tetapi juga mengambil sikap dengan mengekspresikan perasaan dan emosi-emosinya, seperti misalnya dalam seni dan agama. Melalui filsafat manusia juga bisa mengekspresikan perasaan dan emosinya, meskipun pada dasarnya filsafat dibangun de ngan konsep-konsep logis. Kegunaan filsafat yang utama adalah menemukan makna serta orientasi pikiran dan praksis dengan mengung- kap realitas tanpa melibatkan emosinya.

MANUSIA . . . (lanjutan 2)
o Dengan kata lain: Analisis filosofis tidak berurusan dengan reaksi faktual terhadap realitas, baik secara fisik, psikis, sosial maupun lainnya, melainkan dengan validitas struktur makna yang ada dalam kesadaran manusia.
o Sketsa perkembangan pemikiran manusia modern:
n Kebenaran sebagai persesuaian antara realitas dengan representasinya dalam kesadaran manusia, antara inner world dengan outer world, antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos, antara thinking dengan being.

MANUSIA . . . (lanjutan 3)
n Immanuel Kant: Fenomena yang ditangkap oleh kesadaran manusia tidak lain adalah data yang distrukturkan oleh kesadaran itu sendiri. Dengan pandangannya ini Kant mengisolasi realitas dari jangkauan kesadaran manusia sebagai “realitas dalam dirinya sendiri”, sebagai “das ding an sich” yang dengan cara apa pun tetap tidak dapat diketahui. Kesadaran manusia hanya dapat menangkap gejala-gejala yang ada, yang kemudian distrukturkan oleh kesadaran itu sendiri.
n Idealisme bergerak lebih jauh, dengan menghapus sama-sekali “das ding an sich,” sehingga yang tersisa tinggallah kesadaran itu sendiri.

MANUSIA . . . (lanjutan 4)
n Positivisme dan materialisme berpegang pada pandangan bahwa realitas ada pada dirinya sendiri dan kesadaran manusia dapat mengetahui seperti apa adanya. Positivisme membatasi operasinya hanya pada struktur logis dari apa yang dapat ditangkap oleh pencerapan inderawi manusia. Dengan pembatasannya ini, persoalan hubungan antara manusia dengan realitas menjadi tidak bermakna, karena hakikat kebenaran sekarang sepenuhnya dielaborasi berdasarkan keputusan-keputusan logis yang konsisten dan independen terhadap realitasnya sendiri. Sedangkan menurut materialisme, kesadaran maupun keberadaan manusia terintegrasi dalam realitas material.

MANUSIA . . . (lanjutan 5)
o Sketsa di atas memberikan indikasi sering terjadinya dikotomi antara manusia dan realitas dalam filsafat. Tetapi sering juga terjadi upaya-upaya untuk menyatukan kembali dikotomi itu, misalnya melalui Idealisme Absolut dan Materialisme Dialektis.
o Bangunan pikiran manusia (termasuk teori fisika dan konstruksi hukum-hukum logika) adalah buah hasil interaksi antara realitas dengan organisme manusia melalui proses sejarah yang panjang.

MANUSIA . . . (lanjutan 6)
o Filsafat modern yang paling penting dewasa ini adalah (1) materialisme dialektis yang sekarang dielaborasi sangat luas dalam lapangan ilmu dan praksis, (2) filsafat-filsafat keilmuan baru yang sekarang berpengaruh besar dalam memajukan fisika dan biologi, (3) filsafat eksistensial yang menggunakan kondisi-kondisi kongkrit dalam eksistensi manusia sebagai titik tolak filsafatnya, dan (4) phenomenolgi dan filsafat analitis yang membatasi analisis filosofisnya pada fenomena pengalaman langsung.

FENOMENOLOGI SEBAGAI SEBUAH GERAKAN
o Fenomenologi adalah ilmu atau teori mengenai fenomena, yaitu sebuah analisis tentang bagaimana fenomena menampakkan dirinya.
o Fenomenologi tidak menunjuk pada sebuah sistem filsafat dengan ajaran yang solid dan dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan “Apakah Fenomenologi itu?” Pertanyaan itu sangat legitim, tetapi tidak dapat dijawab, karena tidak mungkin kita menemukan asumsi filosofis yang dapat menyatukan para fenomenolog.

FENOMENOLOGI SEBAGAI . . . . . (lanjutan 1)
o Bahkan pikiran Edmund Husserl sendiri juga terus berkembang dan sering mengalami perubahan sampai akhir hayatnya, termasuk mengenai pokok masalah yang terkait dengan fenomenologi. Fenomenologi Husserl, dan juga fenomenologi pada umumnya, adalah philosophy in the making.
o Saya setuju dengan pendapat Herbert Spiegelberg dalam bukunya The Phenomenological Movement, Fenomenologi harus lebih dipahami sebagai suatu “gerakan,” dan bukan “aliran filsafat.”

FENOMENOLOGI SEBAGAI . . . . . (lanjutan 2)
o Fenomenologi sebagai gerakan?
n Fenomenologi adalah moving philosophy yang terarah pada pencarian “meaning” melalui penglihatan langsung kepada “the things themselves.”
n Seperti sebuah aliran sungai, fenomenologi terdiri atas banyak arus, bahkan dengan kecepatan yang berbeda.
n Mempunyai titik tolak yang sama untuk berangkat, tetapi dengan titik tujuan yang tidak dapat diramalkan.

FENOMENOLOGI SEBAGAI . . . . . (lanjutan 3)
o Dalam gerakan fenomenologis itu para fenomenolog disatukan dalam tugasnya untuk melakukan investigasi diskriptif (descriptive investigation) terhadap fenomena, baik yang obyektif maupun yang subyektif, dalam keluasan dan kedalaman sepenuhnya.
o Edmund Husserl (1859-1938) adalah figur sentral gerakan fenomenologi, tetapi fenomenologi tidak identik dengan filsafat Husserl.
A NEW BEGINNING
o Fenomenologi, khususnya yang dibangun oleh Husserl, sangat menekankan hubungan antara manusia dan realitas, dan tidak ingin melihat keduanya dalam isolasi.
o Fenomenologi memulai analisis filosofisnya dari fenomena pengalaman langsung manusia, dan tidak ingin memasuki bidang metafisika, apalagi metafisika teologis. Fenomenologi tidak membangun teori tentang “ada” atau “realitas.”

A NEW . . . (lanjutan 1)
o Tetapi fenomenologi juga tidak ingin mengarahkan bidikan analisisnya kepada reaksi aktual terhadap realitas, seperti reaksi sosial ataupun reaksi psikis-emotional. Sebaliknya, fenomenologi hanya ingin melakukan investigasi terhadap validitas logis dari setiap “meaning” yang diberikan oleh fenomena kepada kesadaran sebagai questio iuris (the matter of principle), dan bukan sebagai questio facti (the matter of fact).

A NEW . . . (lanjutan 2)
o Ambisi Husserl untuk menemukan meaning, yang di satu pihak “diberikan langsung oleh pengalaman kepada kesadaran” dan sekaligus juga memiliki “validitas logis yang tidak tergantung pada data faktual,” akhirnya mengantar Husserl pada konsepsinya mengenai reduksi fenomenologis sebagai inti (core) metoda fenomenologis (Sm).

A NEW . . . (lanjutan 3)
o Husserl selalu menyatakan bahwa dengan fenomenologi, filsafat secara keseluruhan memulai dari awal yang baru. Klaim ini berhubungan dengan peranan reduksi fenomenologis untuk menemukan meaning seperti yang dimaksudkan di atas.
o Tujuan fenomenologi adalah untuk menggapai meaning, bukan being, dari sebuah fenomenon; dan meaning selalu bersifat relasional terhadap kesadaran maupun dunia.

PROTEST
AGAINST REDUCTIONISM
o Pendekatan fenomenologis bertujuan untuk memperbesar dan memperdalam jelajah pengalaman langsung (enlarging and deepening of the range of our immediate experience).
o Sejak Husserl mengumumkan manifesto fenomenologis, “Philosophy as a Rigorous Science,” slogan “Back to the things themselves” telah menjadi bintang penun-tun bagi program riset fenomenologis.

PROTEST . . . (lanjutan 1)
o Interpretasi terhadap slogan “Zu den Sachen” mungkin beragam, tetapi para fenomenolog disatukan dalam semangat yang sama: mendengar dan menaruh perhatian yang lebih besar kepada fenomena, lebih besar dari yang dilakukan oleh empirisme tradisional.
o Program ini memiliki dua aspek, aspek negatif dan aspek positif, meninggalkan sesuatu dan menuju sesuatu yang lain.

PROTEST . . . (lanjutan 2)
o Secara negatif, program ini mengekspresikan sebuah revolusi terhadap pendekatan filsafat yang bertolak dari kepercayaan dan teori-teori yang telah terkristalisasi dalam tradisi; dan oleh karenanya, seringkali harus mengulang-ulang penggunaan preconception dan prejudgment tanpa mengkajinya secara kritis.
o Aspek negatif dari program ini penting untuk membebaskan diri dari jeratan prakonsepsi dan jaringan simbolis yang mengaburkan.

PROTEST . . . (lanjutan 3)
o Salah satu prakonsepsi yang dipersoalkan oleh fenomenologi adalah prinsip keseder-hanaan yang dianut oleh para positifis. Para positifis Anglo-Saxon, yang hanya mendasarkan penalarannya pada sense data, sangat menggemari Occam’s razor proverbial : the principle that entities ought not to be multiplied beyond necessity. Terhadap pepatah ini fenomenologi hanya menambahkan: nor are the phenomena to be diminished below what is intuitively given.

METODA FENOMENOLOGIS
o Aspek positif dari program Zu den Sachen ini oleh Spiegelberg dirumuskan dalam metoda fenomenologis:
1. Investigating Particular Phenomena;
2. Investigating General Essence;
3. Apprehending Essential Relationship;
4. Watching Modes of Appearing;
5. Exploring the Constitution of Phenomena in Consciousness;
6. Suspending Belief in Exixtence; dan
7. Interpreting Concealed Meanings.

METODA . . . . . (lanjutan)
o Menurut Spiegelberg, tiga langkah yang pertama, dari ketujuh langkah yang dimajukannya, telah diterima dan dijalankan oleh semua fenomenolog, sekurang-kurangnya secara implisit. Sedangkan keempat langkah yang terakhir hanya dijalankan oleh sekelompok kecil fenomenolog saja.

(1) INVESTIGATING PARTICULAR PHENOMENA
o Terdiri atas tiga macam operasi, biasanya diberi label “phenomenological description.”
o (a) Phenomenological Intuiting, merupa-kan operasi dasar yang dituntut oleh fenome-nologi, dilakukan dengan mengesampingkan semua prakonsepsi, memerlukan konsentrasi penuh untuk memperhatikan obyek intuisi tan-pa harus terserap di dalamnya sehingga tidak kehilangan sikap kritis.
o Metaforis: “buka mata lebar-lebar”, “lihat dan dengarkan,” dan sebagainya.
(1) INVESTIGATING . . . . . (lanjutan 1)
o Untuk menangkap keunikan fenomena yang diperiksa, operasi ini dapat dilakukan dengan membanding-bandingkan fenomena terkait, memberikan perhatian khusus terhadap keserupaan dan perbedaan.
o Husserl pernah menjelaskan bahwa fenomeno-loginya adalah studi terhadap “subyektivitas transendental,” untuk menunjuk “ada yang lebih dari sekedar subyektivitas. Intuisi harus berupaya untuk menangkap unsur obyektif dari struktur-struktur fenomena subyektif.

(1) INVESTIGATING . . . . . (lanjutan 2)
o (Harus diingat bahwa semua fenomena secara asali berasal dari “yang privat”).
o Kadang-kadang kita harus menghadapi “feno-mena subyektif”nya orang lain yang kita tidak mempunyai akses untuk melihatnya. Untuk itu, harus dilakukan semacam rekonstruksi tidak langsung atau rekonstruksi hipotetis dengan menyediakan instrumen verifikasinya.
o Fenomenologi harus membuka diri terhadap semua fenomena, yang obyektif maupun yang subyektif, sampai akhirnya dapat diperoleh yang tidak sekedar subyektif.

(1) INVESTIGATING . . . . . (lanjutan 3)
o (b) Phenomenological Analyzing. Yang dimaksud dengan analisis fenomenologis adalah analisis terhadap fenomena itu sendiri, bukan analisa terhadap pernyataan-pernyataan yang menunjuk kepada fenomena tersebut.
o Persisnya, apa yang harus dilakukan? Primary nothing but to trace the elements and the structure of the phenomena obtained by intuiting.
o Wittgenstein: “Don’t think but look.”

(1) INVESTIGATING . . . . . (lanjutan 4)
o Husserl pernah menyebut langkah ini dengan “analisis intensional.”
o (c) Phenomenological Describing. Adalah sangat berbahaya kalau seorang fenomenolog mendiskripsikan temuannya tanpa didahului oleh eksplorasi intuitif dan analitis yang mendalam.
o John Stuart Mill: “To describe is to affirm a connexion between it (an individual thing) and every other things which is either denoted or connoted by any of the term used.”
o Describing is based on a classification of the phenomena.

(1) INVESTIGATING . . . . . (lanjutan 5)
o Kadang-kadang kita harus melakukan description by negation untuk menunjuk keunikan fenomena.
o Jalan lain yang bisa ditempuh, meskipun ada bahayanya, adalah description by metaphor and analogy.
o Memang tidak mungkin kita dapat menguras habis sifat-sifat fenomena yang kita pelajari. Karena itu kita harus mengkonsentrasikan diri pada karakteristik yang kita anggap sentral dan menentukan.

(2) INVESTIGATING GENERAL ESSENCES
o Investigating General Essences, disebut juga Eidtetic Intuiting, atau Wesencchau.
o Tidak ada formula yang dapat dinyatakan secara eksplisit dan disetujui semua pihak.
o Husserl: Tidak ada intuisi yang memadai untuk dapat menangkap general essence tanpa seka-ligus menjalankan intuisi terhadap fenomena partikular sebagai contoh.
o Fenomena partikular dapat ditangkap kesadar-an melalui persepsi, atau imajinasi, atau kombinasi dari keduanya.

(3) APPREHENDING ESSENTIAL RELATIONSHIP
o Dengan melakukan analisis terhadap suatu entitas kita dapat menemukan komponen-komponen pembentuk entitas tersebut di dalamnya. Fenomenologi ingin mempelari lebih jauh dengan upayanya untuk menemukan essential relationship atau essential connections nya.
o Ada dua tipe: (1) relationships within a single essence, dan (2) relationships between several essences.
o Prosedur imaginative variation.

(3) APPREHENDING . . . . . (lanjutan 1)
o Dalam kasus hubungan-hubungan internal, pertanyaannya adalah apakah komponen-komponen pembentuknya merupakan kompo-nen yang esensial atau tidak. (Ill.: segi tiga)
o Dalam kasus hubungan-hubungan di antara beberapa essences: Keeping one essence constant, we try to combine it with various other essences, leaving off some of its associates, substituting others for them, or adding essences not hitherto encountered together with them.

(3) APPREHENDING . . . . . (lanjutan 2)
o The stock example: hubungan antara esensi warna (red color) dan keluasan (extension). Tidak dapat dibayangkan bagaimana warna dapat dipisahkan dari keluasan, dan karena itu secara esensial warna harus terhubung (linked up) dengan keluasan. Sebaliknya, dengan mudah dapat diimajinasikan suatu keluasan tanpa warna, seperti dalam kasus medium yang transparan. Dari contoh ini dapat disimpulkan: essential connections are by no means always symmetrical.

(4) WATCHING MODES OF APPEARING
o Phenomenologi melakukan eksplorasi fenome-na bukan hanya untuk mengungkap apa yang nampak (what appear) melainkan juga jalan bagaimana realitas menampakkan dirinya (the way in which things appear).
o Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang harus diperhatikan bagaimana realitas menampak-kan diri pada kesadaran kita, supaya cara realitas menempakkan diri tersebut tidak “menipu” kesadaran kita.
(4) WATCHING ….. (lanjutan 1)
o (a) Melalui salah satu atau beberapa sisi (atau aspek)nya, sebuah obyek dapat memberikan kepada kita isi obyek secara keseluruhan. Sebuah kubus, misalnya, paling banyak hanya akan menampakkan tiga sisinya kepada kita dan tiga sisi yang lainnya tersembunyi. Kalau kemudian kita tahu bahwa kubus itu mempunyai enam sisi, bukan semata-mata dari pengalaman empiris, tetapi karena penalaran (essential reasons). Fenomenologi tidak meredusir kubus tersebut semata-mata sebagai serangkaian fenomena lateral.

(4) WATCHING ….. (lanjutan 2)
o (b) Penampakan sebuah obyek mungkin “dibengkokan” dalam perspektif tertentu, suatu kejadian yang oleh Husserl disebut Abschattung. Diperlukan refleksi khusus untuk mena-ngani hal-hal seperti ini.
o (c) Penampakkan sebuah obyek dengan sisi dan perspetif yang sama dapat juga berbeda kalau dilihat pada tingkat kejelasan dan jarak yang berbeda. Perbedaan yang muncul karena faktor ini disebut sebagai modes of clarity.

(5) EXPLORING THE CONSTITUTION OF PHENOMENA IN CONSCIOUSNESS
o “Konstitusi” adalah salah satu term kunci dalam Fenomenologi Husserl, menjadi konsep dasar untuk idealisme transendentalnya, dengan ide dasar bahwa obyek-obyek kesadaran adalah apa yang dapat dicapai oleh aktus mengkonstitusi kesadaran itu sendiri.
o Herbert Spiegelberg menginterpretasikan langkah ini sebagai jalan dimana fenomena mengkonstotusi dirinya sendiri dan mengambil bentuk dalam kesadaran .

(5) EXPLORING . . . (lanjutan)
o Tujuan dijalankannya langkah ini adalah untuk menentukan tipikal dari struktur konstitusi dalam kesadaran melalui analisis terhadap urutan langkah-langkahnya. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bagaimana seseorang memperoleh orientasi ketika berada di kota yang baru dikenal dimana gambar dari kota itu secara perlahan-lahan mengambil bentuk dalam pikiran.

(6) SUSPENDING BELIEF IN EXISTENCE
o Husserl sendiri tidak pernah berhasil memfor-mulasikan arti dan fungsi reduksi fenomeno-logis secara definitif dan terhindar dari kedwiarti-an (ambiguitas), bahkan yang bisa memuaskan dirinya sendiri.
o Husserl mengasosiasikan makna yang paling dasar dari reduksi fenomenologis dengan operasi matematis brecketing (Ainklammerung), yaitu dengan menunda kepercayaan akan ada atau tidak-adanya isi fenomena yang diselidiki. Melalui bracketing ini kita dapat memperlakukan secara adil semua data untuk dipertimbangkan, baik yang real, yang tidak real, maupun yang meragukan.
(7) INTERPRETING CONCEALED MEANINGS
o Heidegger, dan kemudian juga Sartre dan Merleau-Ponty, mengintrodusir langkah tam-bahan yang dikenal sebagai fenemenologi hermeneutis, sebagai usaha untuk menginter-pretasikan “sense” dari sebuah fenomena.
o Dengan demikian fenomenology hermeneutis mempunyai tujuan yang berbeda dan melam-paui tujuan fenomenologi: menemukan meanings yang tidak langsung diberikan kepada kesadaran melalui intuiting, analyzing, dan describing.

(7) INTERPRETING . . . (lanjutan 1)
o Untuk mempertahankan karakteristik fenome-nologisnya, interpretasi hermeneutis haruslah diberi makna sebagai suatu upaya untuk membuka selubung meanings yang terselubung; atau merupakan suatu verifikasi intuitif atas antisipasi-antisipasi kita terhadap lapisan fenomena yang kurang dapat diakses, lapisan-lapisan yang dapat dibuka, meskipun tidak langsung termanifestasikan.

(7) INTERPRETING . . . (lanjutan 2)
o “Analitika” Heidegger terhadap human being (Dasein) dapat dijadikan contoh bagaimana interpretasi hermeneutis dilakukan. Heidegger menunjuk kepada struktur-struktur tertentu dari keberadaan manusia, seperti fundamental moods, sebagai indikasi terhadap meaning tertentu yang tidak termanifestasikan langsung, seperti Sorge (“concern”) tentang being dan akhirnya tentang being-toward-death (Sein-zum-Tode).

PENUTUP
o Fenomenologi dapat dijadikan alat bantu pergerakan untuk membongkar semua bangunan simbolis yang mengecohkan pandangan kita atas hingar-bingarnya realitas politik Indonesia sekarang ini, dan sekaligus untuk memperdalam refleksi kita atas diri kita sendiri.
o Mudah-mudahan bermanfaat.